Judul
buku : Lampuki
Penulis : Arafat Nur
Penerbit
: Serambi
Ilmu Semesta, Jakarta
Cetakan
I : Mei 2011
Tebal
: 436 halaman
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. ‘Mereka bertanya, ‘Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu manusia yang bakal membuat
kerusakan dan menumpahkan darah sesamanya, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Lalu Tuhan pun menjawab,
‘Sesungguhnya Aku lebih mengetahui akan apa yang tidak kamu ketahui.’ (
Albaqarah: 30)
Membaca Lampuki berarti membaca dua hal. Pertama, perjuangan semu sebuah
komplotan yang dipimpin oleh pria berkumis tebal, Ahmadi dan berbagai episode
para tokohnya yang unik serta mampu membuat pembaca tertawa getir. Kedua,
sejarah Aceh di era Daerah Operasi Militer.
Lagi, karya sastra bersetting Aceh
masa silam, sebuah cara lain mengemas luka, luka yang kata Helvy Tiana Rosa
belum sepenuhnya selesai, luka sisa kejahatan perang. Lampuki, sebuah novel yang berhasil mempesonakan juri dalam dua
ajang bergengsi di dunia sastra yakni pemenang unggulan sayembara menulis novel
Dewan Kesenian Jakarta, 2010 dan pemenang penghargaan sastra KLA (Khatulistiwa
Literary Award), 2011 kategori karya sastra berbahasa Indonesia terbaik.
Lampuki
adalah nama sebuah kampung di wilayah Pasai, kampung yang lebih mirip wilayah
terpencil dan terpuruk dan dinarasikan sebagai
sebuah kampung yang sebetulnya tidak jauh dari Lamlhok, kota itu hampir runtuh, tenggelam dalam perang dan dilanda penjarahan.
Sebagian besar bangunanya hangus dan hancur akibat kemarahan penduduk kampung
sekeliling, lantaran kota itu menyimpan kebusukan dan memilihara kemaksiatan
(hlm.52)
Adalah seorang teungku (guru ngaji)
bekerja sebagai kuli bangunan dan sempat terlibat dalam proyek pembangunan
kompleks tentara di kampung Lampuki. Fokus cerita bukan pada kehidupan teungku
semata tapi ibarat menonton film seri dengan menggunakan narator untuk menuntun
pembaca memasuki tiap tiap bab-nya dan berkenalan dengan para tokohnya. Nah, kisah pun dimulai setelah perumahan itu
ditinggalkan penghuninya dan diganti penghuni baru saat perang bergejolak.
Tirai kisah dibuka dengan penuturan Teungku
Muhammad si pembawa kisah dalam novel ini. Seluruh narasi diambil dari sudut
pandang si teungku oleh Arafat Nur selaku pengarang. Teungku Muhammad adalah
pemilik balai pengajian di dekat rumahnya, ia mengajarkan Alqur’an secara
sukarela kepada anak-anak sekitar kampung. Suatu malam balai pengajiannya
didatangi Ahmadi atau si Kumis Tebal , tokoh sentral yang juga pemimpin pemberontak di wilayah
Sagoe Peurincun. Maksud kedatangannya adalah menyulut gairah kaum muda Lampuki untuk berperang.
Janji muluk Ahmadi tidak berlangsung
sebatas balai pengajian saja, ia mendatangi kedai-kedai kopi dan Pasar Simpang.
Ahmadi terus menggaungkan perihal martabat serta kejayaan Aceh di masa
datang bila terbebas dari ‘penjajahan’ orang-orang
seberang. Banyak yang tidak peduli dengan Ahmadi, penduduk bahkan pasrah membayar
‘pajak’ untuk keperluan perang daripada masuk keluar hutan bersama komplotan
Ahmadi.
Lain Ahmadi lain pula tokoh yang memeriahkan isi novel
yang sampulnya di dominasi warna merah ini. Halimah, istri Ahmadi tak kalah
hebohnya dalam memerankan pribadi yang bermuka dua. Ia lalu lalang melewati pos
jaga sambil mengutip pajak dari rumah ke rumah, tak ada tentara yang curiga
bahwa ia sebenarnya istri dari pemberontak.
Ada
juga sepotong episode yang dikisahkan guru ngaji persoal penghuni kompleks
perumahan di Lampuki yakni si Karim, Pedagang Ganja, tetangga teungku si
Syamaun, pemilik ayam namun tak becus mengurus ayam sehingga seringkali kotoran
ayam Syamaun menjadi masalah besar bagi teungku jika mengotori balai
pengajiannya. Ada banyak humor disini, sulit juga menempatkan kapan pembaca
dituntut untuk tertawa, sementara kisah yang diangkat sebenarnya memiriskan
hati tentang manusia-manusia yang hilang idealisme. Pengarang piawai melucukan
karakter namun sebenarnya menyedihkan.
Sebuah novel tak lengkap rasanya jika tanpa ada kisah
cinta, benar kata novelis Fira Basuki, ada tiga hal yang harus ada dalam novel
jika hendak laku dipasaran, tragedi, drama dan cinta. Untuk menambah kesan
dramatis, pengarang menyematkan kisah cinta terlarang disela-sela gebalau konflik
perang. Kisah cinta terlarang antara Jibral si Rupawan, salahsatu murid ngaji
teungku dengan istri para pemberontak, Halimah istri Ahmadi dan Hayati istri
Puteh. Pada penceritaan tentang
percintaan sepertinya Arafat terjebak
dalam godaan untuk menampilkan adegan cerita erotis yang berseberangan dengan nilai moral walaupun pada
dasarnya si pengarang, saya pikir sudah
cukup hati-hati dalam pemilihan kata dan kalimat.
Alahai, membaca Lampuki
seperti membaca buku sejarah tapi bukan buku sejarah, membaca kumpulan humor
tapi bukan sesungguhnya humor.
Bahasa Kepalan Tangan VS Bahasa Novel
Teks sastra tulis
Tjahjono Widijanto seorang penyair dan esais asli Ngawi dalam artikelnya yang
berjudul Luka Dalam Sastra Indonesia dan Korea, bukan saja merupakan dokumen
keindahan bahasa semata, melainkan juga dokumen sejarah yang didalamnya penuh
luka sebuah bangsa. Dalam soal luka ini, tulis Tjahjono lagi bahwa peristiwa
dalam sejarah “resmi”, oleh sastra tak dianggap sebagai “realitas tunggal” yang
benar dan valid, sastra mengolahnya sebagai satu hal yang harus dipertanyakan
lagi.
Arafat
Nur, begitu menggemparkan dunia sastra nasional umumnya dan sastra Aceh
khususnya. Aceh seperti yang kita ketahui pernah jadi wilayah operasi militer.
Tentara dikirim untuk menumpas apa-apa saja yang dianggap pemberontak
pemerintah pusat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gerakan Aceh Merdeka.
Tak pelak ini semua menggerahkan para aktivis HAM, walau bagaimanapun tak ada
perang yang tak menyebabkan pelanggara HAM. Masa ini terjadi di zaman Presiden
Suharto, kemudian di masa Presiden Gus Dur, Aceh tidak lagi menjadi wilayah
operasi militer.
Lewat novelnya ini,
ia berani membeberkan segala hal yang meresahkan, dan segala luka sisa perang
dengan penyampaian bernada satir cerdas. Latarbelakang sebagai wartawan Harian
Waspada kontributor Aceh, cukup membantu Arafat dalam mengkritisasi konflik
Aceh. Sejumlah kritiknya bertabur tiap kali tokoh teungku bernarasi.
Terlebih
lagi, tidak lebih dari dua tiga penduduk yang tinggal di seputar situ saja yang
bersedia hadir mendirikan jemaah di meunasah, lainnya tidak terlalu menggubris
seruan menyembah Tuhan. Lalu beberapa penduduk yang memang tidak suka
sembahyang, memanfaatkan situasi itu
untuk menutupi keengganan dirinya dengan berkata, ‘Tuhan pun tiada ingin
menagih hambaNya bersujud secara jamaah di meunasah untuk kemudian kepalanya
dilubangi peluru! (hlm. 119).
Dalam
bab lain:
…Karim
menyelipkan tiga lembar uang merah ke dalam saku bajuku, uang kertas berwarna
merah. Itulah warna yang punya nilai paling tinggi di negeri ini, serupa halnya
warna bendera dan darah. Maka, tidak salah bila mereka menyebutkan negeri ini—
sambil bernyanyi-nyanyi riang dan bangga--tanah tumpah darah. Memang selamanya
negeri ini senang dengan pertumpahan darah. (hlm.178)
Carut
marut konflik saat perang menular ke segala lini, perasaan yang paling menjulang
tinggi di kondisi seperti itu adalah perasaan takut, takut dituduh pemberontak,
takut akan Tuhan pun sirna, takut mati
dan lain lain. Terlebih apa yang dilakukan Ahmadi dan komplotannya adalah baik
yakni membela tanah airnya, namun disisi lain cara yang ia tempuh untuk
mencapai yang baik itu yang dibenci penduduk se-kampung Lampuki, bersebab ulahnya yang turun gunung di saat situasi aman
dan menyebarkan janji semu akan kemerdekaan sejati yang diperoleh jika bersedia
gabung dengan laskarnya, namun pada akhirnya tingkah Ahmadi jualah penyebab
munculnya bab Tahun Penuh Bencana dalam novel ini. Hal tersebut tergambar dalam
narasi berikut:
Mereka
yang menggiring kami adalah malaikat-malaikat loreng dengan alat siksa senjata
yang menakutkan. Kami saling melihat ritual yang merupakan ganjaran atas
kesalahan penyerangan si Kumis Tebal; seorang istri menyaksikan suami dan anak laki-lakinya dipukuli; seorang ayah
melihat anaknya dipukuli; seorang anak perempuan melihat ayahnya dikasari;
hingga seorang jiran melihat jirannya sendiri dipukuli (hlm.378)
Sampai
disini simpulkan sudah, tak selamanya hutang nyawa dibalas dengan nyawa, tak
selamanya bahasa kepalan tangan dibalas dengan senjata super canggih. Itulah
yang ditulis Sapardi Djoko Damono
salahsatu endorser dan juga juri Sayembara Menulis Novel DKJ 2010 dalam Lampuki, strategi pengarang untuk
mengambil jarak emosional dengan masalah politik dan social penting yang
diungkapkannya berhasil menyadarkan kita bahwa protes atau komentar social dan
politik tidak harus disampaikan dengan bahasa kepalan tangan. So, proteslah dengan cara elegan salahsatunya
memakai bahasa novel, semoga pemimpin negeri ini suka baca.
Dalam konteks ini, melanjutkan
tulisan Tjahjono Widijanto diawal, teks sastra hadir sebagai upaya manusia
(atau sebuah bangsa) kembali pada nilai dasar dan universal kemanusiannya.
Sastrawan hadir tentu bukan sebagai sejarawan, tapi pencatat, pemikir dan
creator, ia memiliki cara dan kemampuan tersendiri dalam menampilkan sejarah
‘mental’ sebuah bangsa. Dari situ mungkin pelajarn terpenting dari sejarah bisa
kita dapatkan. Yah, jika terluka obatilah dengan menulis.
Mungkin untuk ukuran pembaca yang
suka novel pop, novel ini tergolong serius, tapi gaya penulisan Arataf Nur,
jauh dari kesan serius, ada terselip humor namun tidak juga menghilangkan pesan
terdalam yang hendak disampaikan melalui novel. Lampuki sebuah novel a must
read, untuk yang ingin mengenal
persoalan manusia dan negeri ini, karakter manusia hipokrit terurai jelas tiap
episodenya, sekalipun tetap ada hubungannya dengan episode lain.
Kritik untuk Lampuki
Ya, disini kita masuk zona bebas
tapi no alay =DD, jadi gini, klo gak
gara-gara lomba, Lampuki mungkin gak akan ku lahap sampai habis. Dalam
perjalanan Medan Sibolangit, Sibolangit-Medan, lalu lanjut Medan-Labuhan Batu
Selatan, namun karena berangkat via bus malam, jadi gak sempat baca, maka waktu
membaca adalah disela-sela perjalanan dari hotel ke Bumper PT. Asam Jawa
Torgamba, lalu dari hotel ke PMKS di Cikampak, dan novel pun tamat saat
perjalanan dari hotel yang ada di Kota Pinang ke Medan, wuaahh…melelahkan.
Melelahkan memang, benar kata Ayu
Utami dalam resensinya tentang Lampuki untuk pembaca awam membaca Lampuki
seperti menonton film serial, tiap seri nya punya judul beda dan sekali tamat,
namun masih terus berkaitan dengan seri berikutnya. Nah, bagi pembaca awam juga
seperti saya ini cukup mengkerutkan kening, belum lagi kata-kata yang dipakai
penulis.
Menurutku, kata-kata yang dipakai
penulis dalam gaya penceritaannya, adalah kata pasaran, hadeehhh @_@, jujur ni
ya puyeng bacanya. Sama seperti pertama kali membaca Saman-nya Ayu Utami, eh
Ayu Utami apa Djenar Maesa Ayu ya yang nulis, duh aku lupa, yang jelas, pertama
kali dikasih pinjam ma kawan, belum sampai satu bab habis, aku mau mual
bacanya, otakku mulai mengkomandokan untuk serempak memutuskan sarafnya sendiri-sendiri.
Danger banget baca novel yang
menggunakan bahasa yang gak jauh2 dari bagian fisik tertentu dari tubuh manusia
baik laki-laki atau perempuan.
Dalam kasus Lampuki, agaknya seorang
Arafat Nur menjaga koridor dari apa yang difalsafahkan oleh organisasi
kepenulisan tempat ia bernaung, Forum Lingkar Pena—Arafat pernah menjadi
pengurus di FLP Lhoksemawe. Hal yang sama juga pernah terjadi pada cerpenis
asal Lubuk Linggau, Benny Arnas. Mereka terjebak dalam penceritaan tentang
percintaan, hubungan laki-laki dan perempuan. Seringkali bahasa yang digunakan
terlalu vulgar, tidak menggunakan bahasa yang sehalus mungkin dan menghindari
jebakan penceritaan adegan yang terlalu ‘wah’. Masih hangat dibenak pembaca
bagaimana Habiburrahman El-Shirazy dalam Ayat-Ayat Cinta menceritakan malam
pertama Fahri dan Aisyah, tak perlu berlama-lama disana karena hanya akan
menjadi sia-sia, toh focus cerita bukan pada hal yang ‘begituan’, lalu kenapa
penceritaan yang seperti itu menjadi sebuah keharusan ketika menyelipkan bumbu
romantisme dalam novel-novel dewasa Indonesia? Jawaban dari pertanyaan ‘kenapa’
saya ini, mohon dijawab memakai hati dan logika novelis Indonesia.
Saya pernah membaca bahwa pembaca
yang sering membaca hal-hal yang tidak jauh dari selangkangan, ia akan terus
mencanduinya. Membaca tidak sama seperti saat kita menonton. Menonton TV,
membuat pemirsa tidak perlu memeras otak untuk membayangkan wajah pelaku di TV,
secara semua memang tampak, berdialog, dan bergerak, berbeda jika kita membaca,
saat membaca, kita mengerahkan seluruh fungsi otak, untuk membayangkan,
merasakan, dan lain sebagainya. Nah, kekuatan imajinasi inilah yang perlu
diarahkan, jika bacaan kita bagus maka imajinasi kita terhadap apa yang kita
baca ya tidak jauh dari hal-hal dan pemikiran yang baik, hasil dari bacaan yang
baik tadi, sebaliknya, jika bacaan kita tentang ‘itu semua’, maka isi otak kita
juga tidak jauh beda dari apa yang kita baca. Kita adalah apa yang kita baca.
Maka dari itu, tulislah hal yang
bermanfaat, karena akan dibaca banyak orang, dan orang akan merasakan manfaat
baik dari apa yang kita tulis. Tentu, komunitas menulis yang kita naungi
seharusnya berpengaruh besar terhadap hasil tulisan kita, itu gunanya kita
masuk organisasi atau komunitas menulis, supaya terarah saat menulis dan tidak
melenceng dari koridor yang disepakati. Bukan berarti saya mendewakan komunitas
menulis tempat saya bernaung, tapi sependek pemahaman saya, profesi menulis itu
adalah kerja tim, jika kita bersama tim, misi memerangi tulisan yang bisa merusak
sistem otak, bisa sama-sama diperangi dan efeknya luas, tapi jika sendiri tanpa
ada penyatuan kekuatan, efek baik itu terasa lamban bekerja dan jangkauannya
belum tentu luas. Menulislah untuk kebaikan! =))
Terimakasih sudah membaca postingan di nufazee.com semoga bermanfaat. Mohon jangan masukkan link hidup saat mengisi kolom komentar. ^^ Biar gak capek kali ngapus broken link, ini kenapa jadi curhat haha