Medan (18/04) Tidak hanya program televisi, majalah, koran, bahkan status-status di sosial media saja yang terkena demam emansipasi wanita, terkait April hendak menuju ke hari 21, Hari Kartini, tapi juga tema Omong-omong sastra kali ini.
Bertepat di Kampus VI UISU Jl. Puri
No.118 Medan, Omong-omong Sastra tetap berlangsung meski mendung bergelayut di
langit bahkan sampai rahmat Tuhan—hujan mengiringi walau hanya sebentar. Acara
dibuka dengan kata sambutan dari tuan rumah yakni Dekan FKIP UISU, Nihar
Harahap. Dalam kata sambutannya Ia menghimbau agar Kebangkitan Omong-omong
Sastra menjadi kebangkitan sastra di Kota Medan. Selanjutnya acara diberikan
kepada S. Ratman Suras yang didapuk pengurus OOS yakni Raudah Jambak sebagai
pembicara. Tema yang dibahas adalah ‘Membaca Sekilas Jejak Peta Kepenyairan
Wanita Sumatera Utara’.
Diskusi pagi menjelang siang itu
diawali oleh pemaparan S. Ratman Suras tentang kondisi penyair wanita Sumatera
Utara, dalam makalah sederhananya, ia menuliskan bahwa ‘Dibanding dengan pria,
wanita lebih sedikit yang terjun ke dunia sastra, apalagi puisi’. Opini S.
Ratman Suras tentang miskinnya penyair wanita khususnya Sumatera Utara dilihat
dari frekuensi penyair wanita itu sendiri pada buku antologi puisi tunggal yang
dibukukan. ‘Dari hitungan tahun 1995 sampai kini ada beberapa antologi yang
bisa dicatat’, tulis S. Ratman Suras dalam makalahnya. Selain itu, menurut S.
Ratman Suras timbul tenggelamnya eksistensi penyair wanita disebabkan karena
kesibukan rumah tangga atau telah menemukan dunia lain yang dianggap lebih
menjanjikan. Tentu, nama-nama seperti Murni Aryanti Pakpahan, Laswiayati Pisca,
Susi Aga Putra, Rosliani, Jerni Martina Erita Napitupulu, Rosmaeli Siregar,
Aishah Basar, Nur Hilmi Daulay serta Sumiati, adalah deretan nama penyair
wanita Sumatera Utara yang kemunculannya sangat dirindukan kembali oleh
penikmat sastra serta diharapkan juga mampu menebar semangat kepada penyair
wanita lainnya.
Adapun Raudah Jambak, turut menjadi
pembicara dalam hajatan bergengsi ini. Ia berbicara tentang kondisi penyair
wanita dari sudut pandang berbeda. Raudah Jambak mulai memaparkan
masalah-masalah yang menyebabkan redupnya pijar eksistensi penyair wanita. Ia
pun memulai pemaparan masalah dengan pertanyaan retorik, ‘Orang banyak menulis
cerpen dan puisi tapi mental generasi muda tetap down, ini kenapa?. Kemudian Raudah Jambak melanjutkan penyebab
mandegnya penyair wanita adalah adanya rasa cepat puas terhadap karya yang
dilahirkan. Karya akan buat seseorang terkenal. Rendah hati akan menjadikannya
abadi dan kesombongan akan menghancurkannya secara perlahan. Kritik lalu down pun kerap menjadi penyebabnya pula, padahal
jelas Raudah Jambak, Pujian itu sebenarnya racun sedangkan kritik itulah
obatnya. Raudah pun mengakhiri penyebab itu semua dengan kata ‘Belajar’,
belajar agar mampu setia, kesetiaan berkarya yang terus menerus.
Adalah
kurang rasanya jika diskusi tanpa tanya jawab dan tanggapan, begitupun
Omong-omong Sastra bulan ini. Awalnya moderator sepi penanya dan audiens yang
hendak member tanggapan, namun setelah beberapa saat, muncul tanggapan dari YS.
Rat. Dalam curahan pendapatnya, YS. Rat beropini bahwa kurang pas jika hanya
melacak jejak penyair wanita dari jumlah buku antologi yang dihasilkan, karena
menurutnya lagi saat Ia masih jadi redaktur di Harian Medan Bisnis, justru yang
paling banyak mengirimkan naskah puisi adalah wanita, sampai ada seorang
penyair wanita yang berkali-kali ia kirim naskah puisinya, berkali-kali pula
belum dimuat-muat oleh redaktur, tapi sang penyair tetap saja mengirim tanpa
ada kata menyerah, jelas YS. Rat saat menceritakan pengalamannya menjadi
redaktur dan para hadirin tertawa renyah. Sembari menanti hadirnya penanya dan
penanggap, S. Ratman Suras menanggapi kembali pernyataan YS. Rat, ia mengaku
memang kurang melacak jejak puisi wanita di media cetak dikarenakan kesibukan
yang ada dan itu menjadi saran yang berarti baginya.
Perlahan
tapi pasti penanya mulai bermunculan, M. Fadhli, dalam hal ini ia menyampaikan
kegelisahannya bahwa, mengapa sebegitu pentingnya membahas keberadaan penyair
wanita, lalu apa bedanya dengan penyair pria? Tanggapan dari S. Ratman Suras
bahwa hendaknya menulis tentang perasaan perempuan, selama ini perasaan
perempuan lebih banyak ditulis oleh penulis atau penyair laki-laki. Sedangkan
Raudah Jambak melihat wacana ini dari sisi yang berbeda. Fenomena saat ini
lanjut Raudah, Guru Bahasa Indonesia lebih banyak perempuan, dan Bab yang
paling sering dilewati adalah Bab yang membahas tentang sastra. Raudah mengajak
para hadirin untuk gelisah terhadap fenomena ini, karena hal tersebutlah
salahsatu penyebab hanya segelintir saja penyair perempuan yang muncul ke
permukaan.
Saatnya bangkit wahai penyair wanita
Indonesia!
Terimakasih sudah membaca postingan di nufazee.com semoga bermanfaat. Mohon jangan masukkan link hidup saat mengisi kolom komentar. ^^ Biar gak capek kali ngapus broken link, ini kenapa jadi curhat haha