Di sebuah kampung namanya Kampung Durian. Diceritakan ada seorang nenek dengan cucunya yang bernama Zahra. Setiap bulan Ramadhan tiba, Zahra seringkali diajak neneknya ke masjid untuk solat tarawih bahkan solat subuh, walaupun Zahra sedang amat sangat mengantuk dan harus sholat subuh di masjid, tapi bukan nenek namanya kalau tidak memaksa. Nenek sudah membiasakan Zahra untuk pergi ke masjid sejak kelas 4 SD “supaya cinta masjid”, kata nenek suatu hari pada Mamanya Zahra. Mungkin ini bagian dari misi cara mendidik Nenek terhadap cucunya.
Zahra sekarang sudah duduk di bangku kelas dua Madrasah Aliyah Negeri 1 di kota Medan. Gadis manis berjilbab dan berkacamata minus ini saying banget sama neneknya. Sampai-sampai saking sayangnya seekor nyamuk pun tak boleh menyentuh neneknya. Duilee…Sayang nenek…saying nenek.
Malam itu tampak cerah. Bintang bertabur di langit, bulan bersinar dengan terang, namun bersembunyi di balik awan, karena malu dilihatin Zahra. Melihat bulan yang salah tingkah Zahra pun cepat-cepat membetulkan letak kepalanya yang tadinya mendongak kepala ke atas langit sekarang sudah normal kembali.
“Malam ini siapa ya Nek yang jadi Imam tarawihnya?”,tanya Zahra
“Paling-palinh Ustadz Yusuf”, jawab nenek singkat.
Zahra segera menjajari langkah neneknya. Abis langkah neneknya cepat banget, padahal masjid takkan lari kalau dikejar.
“Apa Nek!, Ustad Yusuf?, Aduh, bakalan nggak semangat nih, soalnya Ustad itu asal jadi Imam suaranya nyaris nggak kedengaran,”omel Zahra.
Zahra ini orangnya memang semangat abis. Abis semangat tinggal lemasnya he-he, becanda. Makanya Zahra kesal banget kalau ada Imam yang bawaannya tidak semangat. Bisa-bisa karena lembutnya suara Imam, makmumnya pada ketiduran. Jadi, tidak khusyuk deh tarawihnya.
Sesampainya Zahra dan neneknya di halaman masjid, tiba-tiba mereka berselisih jalan dengan salah seorang kenalan Zahra di masjid itu. Nenek Zahra langsung masuk ke masjid mau mengejar solat sunnat tahyatul masjid. Sedangkan Zahra langsung menyapa kenalannya itu.
“Assalamu’alaikum bang P-Man (baca: pimen)”, sapa Zahra ramah.
Bang Pimen celingak celinguk kebingungan mencari siapa yang menyapanya barusan. Nggak taunya ada di depan mata bang Pimen. Maklum postur tubuh Zahra termasuk mungil untuk ukuran seorang anak yang duduk di Aliyah.
“Eh, Zahra…Wa’alaikumsalam”, balas Bang Pimen.
“Nggak solat Tarawih, Bang?”,Tanya Zahra.
“Abang solat tarawih kok, tidak di masjid ini tapi di mushollah Al-Washliyah di gang seberang, dapat undangan jadi Imam, InsyaAllah”, jawab Bang Pimen ramah.
“Ceilee…jadi Imam nih. Bang, kalau Zahra boleh saran anti pas jadi Imam harus Semangat! Semangat!”, kepal tangan Zahra mengiringi kata “SEMANGAT”..
Bang Pimen selaku korban pujian dan diberi semangat sama Zahra jadi tersapu-sapu malu, eh salah maksudnya tersipu-sipu malu.
“Ya uda deh kalau begitu semoga sukses ya Bang Pimen. Permisi Bang, Assalamu’alaikum”.
Bang Pimen itu salah satu pemuda penjaga masjid di masjid Al-Hidayah tempat biasa Zahra dan neneknya Solat. Sebenarnya nama asli abang yang disapa Zahra itu adalah Poniman. Jadi, atas inisiatif Zahra supaya nama itu kedengaran agak keren ya dipanggil P-Man (baca:pimen) singkatan dari P-O-N-I-M-A-N terinspirasi dari tokoh kartun Jepang yang setiap Minggu ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Bang Pimen kelihatan asik-asik aja tuh dipanggil Pimen.
Saat sudah berada di dalam masjid, Zahra menyapu pandangannnya ke seluruh penjuru masjid. Yang jelas ke bagian saf perempuan. Zahra mengamati sajadah mana yang kosong.
“Oh, itu tu sajadah yang paling depan sejajar dengan mimbar”, batin Zahra sambil mata Zahra tertuju pada satu sajadah yang malam itu jadi incarannya. Duduklah Zahra di sajadah yang dia incar, sedangkan neneknya ternyata tak jauh-jauh dari tempat Zahra duduk yakni tepat disebelah kanan Zahra.
Jumlah sajadah di masjid itu khususnya di bagian makmum perempuan ada 22 sajadah dan itu semua terletak di saf pertama. Kalau tadi dihitung Zahra dari pintu masuk masjid yang bagian kanan, Zahra duduk di sajadah ke 12 dan neneknya di sajadah ke 11. Ckck, mentang-mentang suka dengan pelajaran matematika, jumlah sajadah di masjid tidak luput dari hitungannya. Tapi, tidak apa-apa deh, soalnya cerita ini ada kaitannya dengan sajadah-sajadah yang dihitung Zahra. Simak lagi yuk!.
Bilal mulai mengumandangkan iqomah tanda solat isya; berjama’ah akan segera dimulai, Zahra dan seluruh jama’ah pun tenggelam dalam khusyu’nya solat malam itu.
***
“Memasuki hari ke 10 Ramadhan biasanya masjid dan musholla mengalami kemajuan saf—safnya mengalami kemajuan yang tadinya pada hari pertama solat tarawih seluruh saf di masjid dipenuhi jama’ah, tapi kini saf yang dibelakang-belakang sudah mulai kosong melompong”, kata sajadah nomor 10.
“Kenyataannya begitu, tapi kalau dipikir-pikir padahal bulan Ramadhan hanya sekali dalam setahun, apa salahnya sih solat tarawih meskipun sunnat dan memperbanya do;a di setiap kali sujud. Berdo’alah kepadaKu niscaya akan Kuperkenankan bagimu*, begitu kata Allah dalam Al-Qur’an”, sajadah nomor 11 menananggapi.
Sepertinya diskusi antara sajadah nomor 10 dan nomor 11 serius banget. Sajadah nomor 12 turut menyumbangkan suaranya (kayak pemilu ya?).
“Salahnya, pola pikirmu tentang makna solat tarawih masih banyak belum diketahui oleh sebagian ummat Islam yang lain, mereka makin disibukan dengan urusan duniawi, padahal di bulan Ramadhan ini seluruh umat berpeluang besar mengumpulkan pahala amal sebanyak-banyaknya. Sudahlah, hanya Allah yang tahu apa yang ada dalam hati hamba-hambaNya, kitakan hanya sebagai fasilitas tempat sujud saja tanpa harus berbuat banyak untuk mendakwahi orang-orang. Mendingan kita membicarakan hal lain saja. Oh ya hari ini aku ditempati oleh anak gadis yang setiap kali sujud dia selalu berdo’a. Banyak banget yang dia pinta. Semoga saja Allah mendengarkan dan mengabulkan do;anya”, ujar sajadah nomor 12.
“Amiin, semoga saja”, koor sajadah yang lain itku mengaminkan.
“Kalau aku hari ini ditempati oleh seorang nenek. Aku semalam ditempati oleh seorang ibu muda yang sedag hamil tua. Aku senang kalau orang yang menempatiku beda-beda,”Akui sajadah nomor 11.
“Iya, kalau saya hari ini ditempati sama ibu yang hamil itu dan semalam ditempati nenek yang aku baru tahu tadi kalau nenek itu adalah nenek si gadis yang solat di atas sajadah si 12”, sajadah nomor 9 ikut menimpali.
Di sudut ruang hati yang terdalam, sajadah nomor 10 hanya bias mendengarkan pengalaman kawan-kwannya tentang orang-orang yang menempati mereka secara berganti-ganti tiap malam, bukan itu-tiu saja orang.
“Mudah-mudahan aku tidak ditanya kawan-kawan. Soalnya aku tidak punya pengalaman seperti mereka”, do’a sajadah nomor 10 dalam hatinya. Sedih.
Sepertinya kawan-kawan sajadah yang lain juga merasakan kebisuan sajadah nomor 10 yang awalnya dia yang mulai diskusi kok sekarang malah dia yang diam.
“Eh, kalau kamu siapa yang menempatimu malam ini?, siapa tahu besok giliran aku yang ditempatinya. Dari tadi kamu cuma dengar cerita kita-kita aja. Bagi-bagi cerita dong”, sajadah nomor 9 coba memancing sajadah nomor 10 agar mau menceritakan pengalamannya.
“Eeee”, sajadah nomor 10 hanya bias ber’ee’ ria menanggapi pertanyaan kawannya dan tak tahu haus menjawab apa.
Malam berganti subuh. Jam sudah menunjukkan pukul 03.00 WIB dini hari. Bang Pimen dan kawan-kawan bersiap untuk membangunkan warga sekitar masjid untuk sahur.
Ruangan masjid kembali sunyi.
***
Sementara itu, Zahra beserta keluarga sedang makan sahur.
“Pasti jam segini Nek Pinem sudah berada di masjid”, ujar nenek membuka percakapan.
Hampir saja Zahra tersedak ketika minum karena mendengar kata neneknya barusan.
“Ah, masih pukul setengah lima, imsak aja belum, kok buru-buru amat ke masjid. Oh mungkin nenek itu mau I’tikaf di masjid biar nambah pahala”, sangka baik Zahra.
“Nek Pinem itu, cepat-cepat ke masjid supaya sajadahnya yang aa di masjid tidak ditempati orang lain. Setiap bulan Ramadhan dia seperti itu, seakan-akan sajadah itu sudah disewanya, habis Ramadhan habis juga sewa sajadahnya alias tidak pernah solat subuh berjama’ah lagi di masjid”, sewot nenek.
Zahra beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil air minum segelas lagi dan kemudian duduk lagi untuk mendengarkan lanjutan cerita neneknya.
“Itu kenyataan, Zahra bisa buktikan sendiri nanti saat kita solat subuh di masjid. Di masjid itu ada 7 kipas angin baling-baling. 3 berderet di saf kedua laki-laki dan 3 lagi berderet di saf kedua perempuan. Tapi di saf pertama perempuan ada satu kipas angin. Letaknya tepat di atas sajadah nenek itu. Konon katanya kipas angin itu dibelinya dan diwakafkannya ke masjid”, nenek menjelaskan semuanya secara lengkap…kap…kap.
“Mungkin dia ingin memanfaatkan kipas angina yang diwakafkannya”, tanteku ikut menimpali.
Terdengar bunyi imsak dari masjid tanda puasa untuk hari itu akan dimulai.
“Nek, dah imsak. Stop! Ngomongin Nek Pinem”, Zahra mengulurkan tangan kanan dan mengembangkan kelima jarinya kayak Polantas yang sedang bekerja menyetop kendaraan di simpang lampu merah.
***
. Setelah imsak bergegas nenek dan Zahra pergi ke masjid. Terus Zahra juga ingin membuktikan semua apa yang dikatakan neneknya tentang Nek Pinem dan sajadahnya.
“Selama ini Za kok nggak pernah memperhatikan hal itu, lagian buat apa Za memperhatikan orang lain, toh Za ke masjidkan bukan untuk jadi agen FBI yang bertugas mematai-matai orang. Tulus dan ikhlas Za tuh ke masjid untuk solat”, oceh Zahra dalam hatinya ketika berjalan menuju masjid, subuh itu.
Di masjid,
“Waduh, emang benar, hmm…kalau tidak salah lihat tadi malam waktu solat tarawih, Nek Pinem juga di sajadah itu dan sekarang subuh juga di situ dan yang lebih nyatanya lagi kipas angina itu memang ada tepat di atas sajadah itu”, pantau Zahra penuh selidik dengan gaya meletakkan tangan sambil mengelus-elus dagu yang tidak berjenggot. Sajadah Nek Pinem terletak persisi ditengah-tenagn saf pertama bagian saf perempuan serta sejajar denagn sajadah Imam yang ada di depan saf pertama laki-laki. Bisa dibilang posisi Nek Pinem, posisi VVIP (very very important person) udah di saf dpan, pas di tengah-tengah, di atasnya ada kipas angin pula. Merasa diperhatiakan sama Zahra, Nek Pinem lalu menoleh dan menatap Zahra. Melihat itu Zahra langsung terduduk manis dan pura-pura berzikir, mata tertutup mulut berkomat kamit.
***
Nek Pinem adalah tetangga Zahra, tidak berapa jauh dari rumah Zahra, Nek Pinem teman dekat nenek Zahra, teman satu pengajian, teman pergi menghadiri undangan walimahan, sohib abis deh dengan neneknya Zahra, wajar nenek Zahra kenal luar dalam sama Nek Pinem.
Nek Pinem adalah seorang mu’alaf, jadi bukan murni dilahirkan sebagai seorang muslim dan Nek Pinem keturunan suku Karo, salah satu suku yang ada di Medan, suku Karo asli kebanyakan bukan penganut Islam, tapi seiring penyebaran Islam yang semakin meluas, masyarakat suku Karo sudah banyak yang memeluk Islam tapi tetap teguh memegang tradisi, seperti tetap mengkonsumsi babi, tidak solat, tidak puasa, percaya hal-hal mistis dan lain sebagainya.
Zahra tidak pernah menanyakan mengenai kenapa Nek Pinem selalu menempati sajadah yang sama?, bagaimana jika sajadah itu ditempati orang lain saat Nek Pinem terlambat ke masjid?, dan berbagai pertanyaan yang semakin membuatku penasaran. Zahra takut menyakiti hatinya. Takut kalau Nek Pinem tersinggung. Biasalah nenek-nenek, kata guru Biologi Zahra, seorang wanita yang sudah menopause memiliki hormone Estrogen yang tidak stabil, sehingga suka sedih tanpa alas an, suka marah-marah yang nggak jelas, sedikit egois. Yup ada benarnya juga judul lagu Yovie n’ The Nuno, Zahra harus “Menjaga Hati” Nek Pinem.
Biarlah semua kembali pada Allah, Allah yang akan menilai semuanya. Zahra hanya meyakini apa yang sering diberi tahu nenek Zahra yang rajin ikut pengajian bahwa sajadah yang kita pakai buat alas sujud akan menjadi saksi di akhirat nanti.
Hanya saja apa yang dilakukan Nek Pinem, membuat Nek Pinem sedikit susah bersosialisasi dengan jama’ah yang lain jika hanya menempati sajadah yang itu-itu saja di dalam masjid dan jama’ah yang lain juga ingin merasakan solat di atas sajadah Nek Pinem yang VVIP itu.
Begitulah Nek Pinem dan sajadahnya.
Terimakasih sudah membaca postingan di nufazee.com semoga bermanfaat. Mohon jangan masukkan link hidup saat mengisi kolom komentar. ^^ Biar gak capek kali ngapus broken link, ini kenapa jadi curhat haha