-->
Menu
/

Judul                 : Sang Patriot
Penulis              : Irma Devita
Penerbit           : Inti Dinamika Publisher
Cetakan            : I,  Pebruari  2014
Halaman          :266 Halaman

Menovelkan Sejarah: Sebuah Cara Melawan Lupa
Oleh: Nurul Fauziah

Sang Patriot, sekilas judulnya sama dengan judul film yang berkisah tentang hidup Prabowo, mantan Panglima Kostrad era Presiden Soeharto. Film dokumenter tersebut tayang menjelang Pemilu Legislatif lalu dan berdurasi sekitar 30 menit. Tentu ekspektasi penonton mengarah pada bagaimana lika liku hidup Prabowo hingga masa pencapaiannya saat ini, namun, film yang diisukan sebagai salahsatu media kampanye partainya, justru mengisahkan penyebab Prabowo yang diadili oleh pengadilan militer dan diberhentikan dari kesatuannya bersebab Tragedi 12 Mei 1998 silam.
Masih lekat diingatan tentang krisis politik yang melanda Indonesia 16 tahun lalu, Jakarta, pusat ibu kota Negara Republik Indonesia, rusuh, dan berujung pada demonstrasi besar-besaran menuntut lengsernya Presiden Soeharto. Aparat keamanan, yang diharapkan mampu mengamankan massa, justru berbalik malah tindakan aparat mengancam jiwa rakyat sipil, akibatnya korban jiwa bergelimpangan, diantaranya mahasiswa. Esoknya, 13 Mei 1998, massa mengamuk, kerusuhan semakin menjadi, Jakarta chaos. Sampai sekarang peristiwa tersebut, tragedi Mei 1998, oleh August Mellaz, salah seorang yang ambil bagian dalam arus demonstan, dikenal dengan perjuangan melawan lupa.
Kita tinggalkan sejenak, Sang Patriot versi film, dan mari mengenal lebih dekat salah seorang patriot yang kisahnya lebih nyata, lebih sejati, tanpa dibuat-buat, dan tanpa mengharap sebuah pengakuan, tapi keikhlasan berjuang demi tanah air yang layak huni untuk hidup yang lebih baik.
Oke, here we go
Kisah dibuka dengan prolog yang khas tulisan Dan Brown saat mengawali beberapa novelnya, salahsatunya The Da Vinci Code, cerita dibuka dengan kematian sang pendeta yang tidak wajar, dan dari sinilah cara Dan Brown mencengkram imajinasi pembaca untuk tidak tahan meneruskan bacaan hingga tuntas.
Begitu juga yang dilakukan Irma Devita, pada prolog Sang Patriot, mungkin buat pembaca yang tidak sabar, tentu langsung membuka beberapa halaman terakhir, yang merupakan puzzle yang melengkapi prolog, tapi buat apa puzzle awal dan akhir tanpa dilengkapi rangkaian puzzle di tengah-tengah cerita? Tentu akan bolong, tidak menjadi cerita yang utuh, maka kisah pun mengalir.
Terdiri dari 25 judul, termasuk prolog dan epilog, dan judul yang kedua setelah prolog adalah Senopati Kecil dengan latar dan setting Kediri tahun 1923 , awalnya nyantai aja begitu pas dibuka dengan kisah Legenda Calon Arang, tapi setelah dipikir-pikir apa kaitannya dengan kisah yang mau diangkat, yakni Senopati Kecil, sang Patriot yang menjadi tokoh sentral dalam novel ini. Kalau pun hendak dibuka dengan memperkenalkan asal usul Gurah, sebuah desa di Kabupaten Kediri yang menjadi latar bab ini, mungkin bakal lebih asyik  Mbak Irma mengawalinya dengan penggambaran suasana desa Gurah waktu itu. Tapi tak mengapa, pun begitu saya sebagai pembaca jadi turut tahu bahwa legenda perempuan sesat itu ternyata berasal dari Desa Gurah.
Adalah orang zaman dulu, hidup berpindah-pindah, begitu juga yang dilakukan oleh sepasang suami istri, Hasan dan Amni beserta anak mereka, dari Madura memilih Kampung Kauman, Kediri sebagai tempat mengukir hidup.
Nah, dibagian ini pembaca akan disuguhkan siapa sosok Sang Patriot kecil. Jujur, saya sendiri saja tidak tahu siapa beliau, kalau bukan dari pemaparan di halaman 10,
Di rumah itulah Sroedji, anak kedua pasangan Hasan dan Amni yang lahir di Bangkalan, tanggal 1 Februari 1915, beserta enam saudaranya dibesarkan.
Dan diantara para saudaranya, hanya Sroedji seorang yang punya semangat tinggi untuk bersekolah, ya tahu sendirilah di zaman itu dengan menganggarkan Ayah yang seorang pedagang dan ibu yang seorang rumah tangga, agak mustahil untuk bersekolah tinggi, tapi beruntung Sroedji yang cerdas akhirnya berhasil melanjutkan sekolah setamat dari kelas II sekolah rakyat atau Ongko Loro ke Hollands Indische School (HIS) berkat bantuan Pakde Pusponegoro, seorang ningrat. Dan terus berprestasi hingga bisa bersekolah di sekolah kejuruan bidang pertukangan, Ambactsleergang.
Sampai disini, pembaca terus dimotivasi dengan optimisme Sroedji muda, sesekali ia juga membantu ayahnya berdagang, paling suka dengan kebiasaan Sroedji
Selagi menunggu dagangan, Sroedji tekun membaca buku-buku berbahasa Belanda yang selalu dibawanya (Hal.13)
Bener-bener keren nih pemuda (uhuy :D)
Cuma memang disekitaran halaman 16-18 itu keterangan waktu melompat-lompat, Mbak Irma mungkin lupa menyertakan keterangan waktu dan tempat, eh tiba-tiba sudah di pelabuhan aja, kedua orangtua Sroedji berangkat haji.
Memasuki Judul 3, lebih ehm lagi , penasaran bagaimana sang patriot jatuh cinta, di Judul ini jawabannya. Adalah Rukmini perempuan beruntung itu, namun juga kuat kemauan. Betapa inginnya ia bersekolah di Sekolah Tinggi Hukum dan menjadi seorang yang bergelar Meester in de Rechten. Namun, apalah daya, sang ayah, pun menjodohkan ia dengan seorang pemuda.  Singkat cerita, dengan diawali pertemuan jahil di pasar dan berakhir di pelamin. Bahagia sekali. Pasangan adalah cerminan kita, maka Rukmini adalah cerminan Sroedji begitu sebaliknya mereka saling melengkapi.
Hanya sampai di Judul 1-3 sajalah pembaca disuguhkan episode kehidupan Sroedji yang anteng, damai dan sentosa. Sroedji tidak kebanyakan pemuda yang sudah merasa aman dengan keadaan yang bersekolah tinggi, menjadi pegawai di pemerintahan, beristrikan seorang yang berpendidikan pula dan dikaruniai anak yang lucu. Dalam benak Sroedji betapa inginnya ia ikut andil dalam membela negeri.  
Nah ini asyiknya membaca novel yang bersetting sejarah, secara gak sadar kita belajar sejarah, dari penyelipan opening oleh penulis sebelum masuk ke kisah tokoh utamanya. Sroedji, yang sudah lama sekali bercita-cita menjadi tentara Indonesia tetap menunggu kesempatan yang tepat tanpa gegabah meski sebenarnya dimasa penjajahan Belanda, pemerintah membuka kesempatan bergabung di Koninklijke Millitaire Academie (KMA) dan Corps Opleideing Reserve Officieren (CORO). Tapi Sroedji tidak mau. Baginya bergabung dengan korps militer Belanda sama dengan kaum kafir yang menghantam bangsa sendiri.
Pada 3 Oktober 1943, Koran Djawa Baroe, disana tercantum bahwa Jepang membuka perekrutan tentara PETA (Pembela Tanah Air) dan betapa berbinarnya mata Sroedji membaca pengumuman itu dan terbersit di hati keinginan lamanya yang terpendam
Tentu keinginannya ini tidak mudah terwujud bersebab ia mesti merundingkannya dengan kekasih hati, Rukmini, sempat was-was bila Rukmini tidak mendukungnya, tapi Rukmini memang wanita yang luarbiasa akan pemahaman terhadap potensi dan keinginan suami tercinta. Ia pun mengikhlaskan Sroedji ikut perekrutan itu,

Kau punya mimpi jadi tentara agar  dapat membaktikan tenagamu kepada rakyat banyak. Mungkin inilah saat yang tepat mewujudkannya…’ (Hal. 47)

Tak mudah menjadi seorang kadet, latihannya luarbiasa keras. Sroedji berusaha bertahan sekuat tenaga dan menjadi penyemangat teman-temannya. Kalimatnya keren,

Seorang prajurit yang kehilangan semangat juang ibarat mayat yang mengusung keranda kematiannya sendiri’  (Hal.57)

Pada halaman 171 juga ada kalimat keren Sroedji

‘Sekacau apapun keadaan, sikap tenang, disiplin dan kepandaian membaca situasi akan berujung pada jalan keluar terbaik’

Bermodalkan latihan yang amat keras selama 4 bulan, resmilah Sroedji menjadi anggota PETA, dan membentuk Daidan atau batalion di Karesidenan Besuki. Namun yang namanya penjajah, sudah pasti banyak bohongnya. Para petinggi PETA mulai melihat kekejaman Jepang terhadap rakyat, selain itu perekrutan anggota battalion mulai tidak diperhatikan, untuk latihan tidak dilengkapi dengan fasilitas persenjataan, bahkan tentara PETA sendiri tidak dibolehkan pegang senjata. Seiring berjalannya waktu, Jepang hancur, sejak peristiwa pemboman Hiroshima dan Nagasaki di tahun 1945. Berefek pada pembubaran PETA oleh pemerintahan Indonesia. Perjalanan karir ketentaraan Sroedji tak henti sampai di pembubaran PETA, istilah kemiliteran dalam bahasa Jepang mulai di ganti, pada hal. 73 Mbak Irma memaparkan, Sroedji berpangkat Mayor yang membawahi wilayah Jember Selatan berpusang di Kencong dan memimpin Batalion Alap-Alap atau Batalion Sroedji. Dari sinilah Sroedji mulai beraksi.

Sebuah Kado untuk Nenek Tercinta

Novel yang warna covernya ini merah keemasan sudah direncana terbitkan sejak Mbak Irma masih kecil.  Jadi teringat kisahku dengan ibu dari nenekku alias buyutku, aku selalu menjadi teman saat ia tidur, dan sebelum tidur di dalam ranjang berkelambu itu, buyutku tak bosan-bosannya bercerita, terkadang kisah yang diceritakan itu-itu saja hehehe, tapi menyenangkan sekali.

Aku rasa begitu pula yang dilakukan Mbak Irma dengan sang nenek. Dan novel ini bukan sembarang novel. Novel ini wujud dari janji Mbak Irma gadis terhadap neneknya Rukmini untuk mengisahkan perjuangan sang kakek dalam bentuk novel.

Tak banyak cucu yang memiliki motivasi seperti Mbak Irma, semoga kelak dengan terbitnya novel ini menjadi inspirasi para cucu  atau keturunan dari patriot di seluruh Indonesia  untuk mengisahkan perjuangan kakek, nenek atau anggota keluarga mereka yang pernah berjuang untuk Indonesia namun namanya tenggelam oleh waktu.

Bila Mbak Irma tak menuliskan kisah Sroedji mungkin tak banyak yang tahu bahwa kisah kepahlawanannya yang begitu luar biasa.

Sekali lagi selamat buat Mbak Irma akhirnya janji terhadap nenek tercinta terlunaskan sudah. Tinggal saat ini bagaimana kita menjadikan sejarah sebagai bahan untuk memprediksi masa depan, mengimprovisasinya dan meneruskan perjuangan para patriot bangsa.

Kisah Rukmini juga mengingatkan ku pada film IP MAN seorang pendekar Wu Ching, Ip Man memiliki istri yang begitu ia cintai, ya mirip Sroedji ini, sewaktu Cina dijajah Jepang, ia pun ikut berjuang. Istrinya juga tidak lepas dari ancaman bahaya diperkosa dan dibunuh.

Menjadi istri tentara bagi Rukmini juga tidak mudah, apalagi pas membaca adegan sewaktu Rukmini hijrah ke Kediri dalam keadaan hamil besar, MasyaAllah itu aku membacanya sesak napasT_T Mbak Irma pintar membangun suasana di dalam novel ini T_T seolah aku mengikut perjalanan Rukmini.

Kebangkitan Novel Sejarah

Sejarah, mestinya menjadi pelajaran yang menyengkan di sekolah, karena dari sejarah lah generasi muda bisa belajar dari masa lalu, lebih mengenal jati diri bangsanya, tidak mudah terpengaruh kebudayaan bangsa lain, menghargai jasa pahlawan dan masih banyak lagi manfaatnya.

Nah, semoga dengan semakin berkembangnya tren menerbitkan novel sejarah, bisa membantu generasi muda untuk menyukai sejarah.

Tentu tidak mudah bagi Mbak Irma yang terbiasa menulis non fiksi tapi bersebab sebuah janji, ia pun menulis novel dan itu langsung novel sejarah yang penelusuran risetnya tidak mudah, belum lagi penggambaran adegan sadisnya. Sempat dibeberapa bagian membuatku mual T_T ini Mbak Irma gimana ya kondisinya pas mengetik adegan itu, dan aku selain mual, jadi membara juga, ya Allah segitunya, rakyat zaman dahulu diperlakukan T_T selama ini melihatnya cuma di film thriller atau psycho  gitu, tapi membaca novel Mbak Irma membuatku berkesimpulan, memang penjajah itu mati semua hatinya T_T titisan monster, bahkan Dementornya penjara Azkabannya Harry Potter.

Untuk data novel, daku gak meragukan lagi, karena dia cucu sang patriot, hanya saja memang pendiskripsian tempat dan latar, Mbak Irma masih kaku, efek terbiasa menulis non fiksi itu bisa jadi kebawa, namun untuk pemaparan data, Mbak Irma luwes sekali, ini manfaat terbiasa nulis non fiksi, lebih tertata dia, lebih terstruktur, enak bacanya, yang pembahasan berat soal tanggal dan peristiwa jadi ringan dibuatnya ;)

Oh ya, tentang Somad si pengkhianat, kenapa ya Sroedji tidak menyadari keberadaannya setelah tiga kali berturut-turut Belanda mengetahui keberadaan Batalion Sroedji? Agak aneh aja menurutku bagian ini, atau merupakan klimaks biar seru

Dan memang agak susah dibedakan mana kisah yang nyata dan yang ditambahkan oleh penulis atau semua kisah adalah memang benar adanya?

Kemudian, ada pencantuman bahasa Jawa yang tidak ada terjemahannya, pada halaman 79, karena tidak semua pembaca, bisa mengerti bahasa Jawa, mungkin bisa dilengkapi dengan artinya, meski sebenarnya di beberapa bahasa Jawa, Mbak Irma mencantumkan artinya, tapi mendadak penghujung cerita Mbak Irma sudah merasa bahwa pembaca sudah mengertilah itu.

Lalu untuk istilah-istilah lain, hendaknya tak perlu dimuat pada halaman belakang, pembaca biasanya paling malas saat asik baca di susahkan dengan istilah asing kemudian diminta mencari artinya di halaman belakang, itu agak menganggu banget. Bagaimana jika peletakan footnote dengan begitu, pembaca tidak perlu terlalu jauh kehalaman belakang tapi hanya dengan melihat keterangan di footnote saja.

Oh ya satu hal lagi yang daku suka, bahwa perjuangan memang tidak dengan leha-leha, berpasrah diri terhadap Allah , iman yang tebal dan kuat kemudian iming-iminga mati syahid peroleh syurga itu motivasi luarbiasa sekali. Dapatlah daku simpulkan bahwa, sebenarnya Allah yang menguatkan para patriot bangsa ini, teriakan Allahu Akbar menggema di buku ini dan itu memang menggetarkan musuh Allah. Nah, pelajarannya adalah kalau mau jadi tentara, jadilah tentara yang taat agama, Sroedji dengan keimanannya membuat ia tetap keep calm, dan stay cool.

Overall, novel ini sangat menginspirasi, selamat membaca, selamat belajar sejarah.

Artikel ini diikutsertakan dalam lomba review novel Sang Patriot






3 comments:

  1. Semoga sukses GA-nya. Salam kenal dari Jawa Tengah.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas partisipasinya :)

    ReplyDelete
  3. @Mas Luthfi: Salam kenal juga dari Medan :)

    @Mas RZ Hakim: sama-sama mas :)

    ReplyDelete

Terimakasih sudah membaca postingan di nufazee.com semoga bermanfaat. Mohon jangan masukkan link hidup saat mengisi kolom komentar. ^^ Biar gak capek kali ngapus broken link, ini kenapa jadi curhat haha

Powered by Blogger.