Judul
Buku : The Mocha
Eyes
Penulis
: Aida M.A
Cetakan : Mei, 2013
Penerbit
: Bentang Pustaka
Halaman
: 245
‘Bila orang meremehkan, menghina, memojokkan, maka cara
paling elegan, terhormat, dan bermartabat adalah bukan dengan mencaci makinya,
bukan dengan mencakar mukanya, bukan dengan mengumpat dan menuding-nuding
batang hidungnya. Semua itu justru menjatuhkan martabat diri sendiri. Balas
orang yang meremehkanmu dengan berprestasi dua kali lebih baik. Karena itu kau
harus bekerja dua kali lebih keras’
(Amy Chua, penulis buku Battle
Hyme of Tiger Mother)
http://bentangpustaka.com/the-mocha-eyes/ |
Tidak mudah menjalani hidup sebagai seorang
Muara. Awalnya kehidupan yang ia jalani sempurna, menikmati masa kuliah dengan
penuh semangat menuntut ilmu dan keceriaan akan berkumpul dengan teman-teman.
Di tengah perjalanan, siapa sangka dia dihadapkan pada situasi sulit dan
mengubah hidupnya, praktis 3600, ya ia mengalami pelecahan seksual
yang dilakukan teman sekelas di kampusnya. Semenjak itu kehidupan tak lagi
sama.
Muara pun memilih menjalani hidup
layaknya kopi pahit nan kental. Muara menjadi seorang yang anti sosial,
pendiam, pemilihan warna pakaian pun hitam, menjadi perokok sejati, penderita insomnia akut. Meskipun begitu,
Damar adalah pria pertama yang berhasil menaklukkan hatinya. Tapi, Muara
tetaplah si kopi pahit, sikapnya menjadi penghalang terbesar Damar untuk bisa
memahami Muara sepenuhnya, hingga Damar memilih hengkang dari hati Muara dan
menyambut cinta lain. Muara terluka, lagi. Kopi hidupnya makin kental.
Semalang-malangnya Muara, ternyata
ia masih dikarunia ibu kandung yang luar biasa, sejak kematian ayahnya bersebab
syok mendapati anak gadisnya diperkosa, ibu Muara menjadi satu-satunya orang
yang memahami Muara. Banyak kalimat bijak yang mengalir dari mulut ibu Muara,
“Perasaan
manusia itu seperti cangkir, setiap saat diisi dengan berbagai macam hal. Kamu
tidak akan merasakan bahagia jika kamu membiarkan cangkirmu diisi penuh dengan
sesuatu yang rasanya pahit. Rasa cangkirmu itu berdasarkan apa yang kamu
pilih!” – Ibu Muara – Hlm. 77
Menjadi
normal adalah hal tersulit bagi Muara, bila tidak karena dorongan sang ibu,
maka kamar adalah tempat ternyaman di dunia pekatnya Muara. Lepas mengakhiri
pekerjaan sebagai kasir minimarket , Muara pun mencoba bekerja di sebuah
restoran cepat saji, konflik pun makin terasa di bab ini. Muara perlahan mulai
bersinar. Apalagi sejak perjumpaannya dengan Fariz—seorang konsultan pengembangan
diri di program pelatihan bagi pegawai terpilih di resto fast food tempat Muara kerja,
Sosok
Fariz seperti secangkir coklat, manis dan lembut, serta menenangkan, , ia pun tak mengalami kesulitan berarti dalam memahami
Muara hingga akhirnya tawaran segelas Moka dari Fariz mampu membuat Muara
membuka hati lagi. Muara perlahan mengubah rasa hidupnya, menjadi Moka. Seperti
apakah hidup seorang Muara setelah meneguk Moka pemberian Fariz? Baca deh kelanjutan ceritanya ^_^
The
Mocha Eyes, Bukan Novel Roman Biasa
The Mocha Eyes,
sebuah novel keren dengan desain Cover
yang kece *_* berasa di café gitu :D
setelah terpukau dengan cover, saya
terpukau lagi dengan font dalam novel
ini, wuaaa…berpeluang menambah minus di mata saya hehehe, mungkin karena porsi
halamannya yang banyak, sehingga dengan font
dan spasi yang minimalis diharapkan tidak mengurangi halaman dan jalan cerita tetap
lancar jaya, tapi semoga ada edisi revisi yah, dengan pemilihan font yang ramah mata :D
Dari
pembahasan cover, kita lanjut ke pembahasan isi novel, setelah membaca review dari pembaca novel ini
sebelum-sebelumnya, saya setuju, bahwa novel ini adalah semi novel pembangun
jiwa.
Kisah hidup Muara, tak banyak
diangkat padahal mungkin kenyataan yang ada saat ini, adalah banyak Muara di
luar sana yang tertatih-tatih menjalani hidup dengan kondisi membawa beban
trauma masa lalu yang sangat. Maka, keberadaan novel dengan tema sentral yang mengangkat
kisah korban pelecehan seksual adalah solusi bagi mereka yang bernasib sama
seperti Muara, atau bisa jadi dalam hal lain, semisal patah hati.
Sekilas
patah hati adalah hal sepele buat sebagian orang, atau tepatnya sebagian pria,
tapi adalah hal yang luar biasa menyakitkan bagi para wanita, nah kisah Muara
dalam menjalani dan mengatasi kepedihan masa lalunya bisa dijadikan bahan
menambah cara pandang dalam memaknai kondisi hati.
Karakter Muara sendiri mengingatkan saya dengan karakter Song Yi Kyung dalam Drama Korea, 49 Days. Bedanya Song Yi Kyung berubah menjadi seorang yang antisosial dan demotivasi karena kematian kekasihnya, dan hidupnya benar-benar dijalani dengan tidur, makan, bekerja, kalau pun ada pilihan adalah ia lebih memilih mati. T,,T
Karakter Fariz pun cukup mendukung, ahli hipnoterapi ^_^ dan penulis cukup menguasainya karena suami dari Kak Aida MA adalah ahli hipnoterapi. #Ehm :D
Karakter Fariz pun cukup mendukung, ahli hipnoterapi ^_^ dan penulis cukup menguasainya karena suami dari Kak Aida MA adalah ahli hipnoterapi. #Ehm :D
http://www.screened.com/49-days/17-32130/all-images/132-2507299/49_days_poster5/131-480912/ |
Sebenarnya juga yang buat novel ini
serasa novel pembangun jiwa adalah karakter Ibu Muara. Menurut saya, Ibu Muara
adalah titisan Konfusius seorang filsuf dari Cina :D beruntung Muara dikaruniai
Ibu seperti itu, ibu mana yang hari ini sanggup menghadapi anak gadis yang
korban pelecehan seksual? Sulit, sudah pasti, tapi menyerah bukan sebuah jalan
keluar. Maka, dari novel ini juga, direkomendasikan banget untuk para orangtua
yang mungkin saat ini sedang menghadapi masalah serupa Muara.
Overall,
The Mocha Eyes, ;) pas banget buat
yang lagi galau dan patah hati, bekal buat move
up and dust off ya baca novel
ini, belum lagi terselip teori hypnotherapy,
salahsatunya ada di halaman 170, tapi agak bingung tentang membayangkan
telunjuk tangan kanan lebih panjang dari telunjuk tangan kiri.
“Sambil
memejamkan mata, sekarang coba kamu bayangkan, jari telunjuk tangan kananmu lebih panjang dari telunjuk tangan kirimu. Coba bayangkan pelan-pelan telunjuk tangan kiri (seharusnya ditulis ‘kanan’) itu memanjang”
Aku mengikuti perintahnya. Sambil
memejamkan mata, aku membayangkan telunjuk tangan kananku lebih panjang dari telunjuk tangan kiriku.
Terlepas dari sedikit kekurangan
tersebut, novel ini high recommended ^_^.
Ah, akan makin lengkap membaca The Mocha
Eyes, sambil ditemani secangkir hangat atau dingin minuman Moka \(^0^)/.
Saya sudah buktikan. Selamat Membaca.
julesmariano.com |
“Perasaan manusia itu seperti cangkir, setiap saat diisi dengan berbagai macam hal. Kamu tidak akan merasakan bahagia jika kamu membiarkan cangkirmu diisi penuh dengan sesuatu yang rasanya pahit. Rasa cangkirmu itu berdasarkan apa yang kamu pilih!” – Ibu Muara – Hlm. 77
ReplyDeleteyaampun, sukaa dengan kata-kata ini^^
Kalau suka, diborong gih novelnya :D , keren dah pokoknya ;)
ReplyDelete