-->
Jadi,
ceritanya daku lagi baca buku Emak: Penuntunku dari Kampung Darat sampai
Sorbonne karya Daoed Joesoef. Nah, ada bab yang begitu inspiratif menurutku.
Karena aku baik hati dan sesekali aja nyiram bunga di rumah yang lebih sering
nyiram bunga nenekku #lah, apa hubungannya? =D, maka bab Emak dan Pengemis aku
ketikkan demi kalian para zee’s reader #eaaaa…
Mahaph,
gak satu bab ini aku ketik, bisa kriting jari2ku yg belum diasuransikan ini
yaaa heheheh. Enjoy the show…kalau
mau tau cerita lengkapnya, beli n’ baca ndiri bukunya ya, buat kamu anak pers
kampus, ni buku nolong banget buat naskah indeep
reporting atau jurnalisme narasi kamu. Deskripsinya itu loh…hmm…setting Medan tempo doeloe dalam cerita
ini nge-taste banget. Jangan ngaku
anak Medan, kalau belum baca novel keren ini apalagi dilengkapi dengan buku
nonfiksi terheboh abad ini Gue Gak Cupu (GPU, 2010) #jiaaahhh…jiwa marketingnya kumat# dibeli
yaaaaa…. ^_^
Satu
lagi, ttg novel yang hanya menceritakan Emaknya dari awal bab sampai akhir
bahwa semua Emak punya cerita masing-masing di mata anak-anaknya *yaeyalah*, so, apa ceritamu ttg emakmu? #dahh…mulai
mirip-mirip iklan masa kini hihihi, tak apalah =D
…
‘Saya
benci kepada pengemis,’ kata emak setiap kali ada peminta-minta datang ke
rumah.
Emak
melarang semua anaknya untuk meladeni setiap pengemis di mana pun.
‘Kan
dapat pahala, Mak?!’ kata Kak Marni
‘Pahala
apa, masak Tuhan memberikan ganjaran atas perbuatan kita dalam mendukung
perbuatan yang membencikan,’ jawab emak.
Yuhuuu…kembali
ke admin yang dahsyat ni, jadi si emak dalam penjelasan berikutnya menguraikan
tiga alasan kenapa ia benciiiiiiii…sama pengemis, yokkk…bekicot!
1.
Orang ini dengan sengaja
menyalahgunakan ayat-ayat suci untuk membenarkan perbuatannya, seolah-olah
ayat-ayat itu diturunkan memang demi membenarkan kepengemisan. Dengan begitu
dia juga sebenarnya telah merendahkan derajat dan martabat agama kita. Coba
lihat, katanya mana ada orang Kristen yang sesudah sembahyang di gereja pada
hari Minggu, lalu berjejer duduk meminta-minta di kanan-kiri jalan yang menuju
ke gapura ke luar sambil mengucap-ucap doa, seperti yang lazim dilakukan oleh
kaum muslim selepas sembahyang Jum’at di masjid. Dengan mengucap-ucapkan
ayat-ayat, para pengemis itu sebenarnya bukan ingin mencari atau mendekati
Tuhan, tetapi berniat atau memperoleh berkah-Nya saja.
2.
Dengan meminta-minta sambil berdia
itu, si pengemis mengutak-atik rasa keseagamaan dan kemanusiaan kita. Dia dan
kita memang seagama, tetapi apa yang dilakukannya itu jelas bukan yang
diperintahkan oleh ajaran Islam. Kita memang harus berperikemanusiaan, tetapi
apa yang dilakukannya itu jelas tidak sejalan bahkan bertentangan dengan
ketentuan budi dan akhlak manusia yang terpuji. Menurut paman dan bapakmu, para
pengemis yang bersila di pelataran masjid pada umumnya meletakkan uangnya
sendiri di hadapan mereka. Dan tidak tanggung-tanggung, uang recehan yang
bernilai besar lagi, mulai dari kelip, ketip, hingga talen, agar mengesankan
sudah ada orang-orang dermawan yang member banyak sedekah. Bukankah perbuatan
itu merupakan satu penipuan.
3.
Dengan meminta-minta itu, si
pengemis tidak hanya menipu kita tetapi
juga membohongi dirinya sendiri. Dia menipu kita karena telah menutup-nutupi
kemalasannya. Dia pasti malas mengingat masih ada jerih payah lain yang
merupakan sumber penghasilan yang halal. Tanpa pernah sekolah, tanpa menjadi
kuli kontrak, misalnya setiap waktu kalau dia mau dia bisa diterima bekerja di
perkebunan tembakau sebagai pencari ulat dan telurnya, sebagai penakik
getahnya, sebagai pemetik kelapa sawit. Kalau dia tidak segan-segan berkeringat,
dia bisa membantu peladang-peladang yang berlahan luas yang sekarang kabarnya
sudah bingung karena kekurangan tenaga. Bahkan ada yang menipu dengan
berpura-pura menanyakan alamat seseorang, kemudian meminta uang dengan alasan
kehabisan ongkos untuk pulang pergi ke kampung asal. Dia membohongi dirinya
sendiri dengan berbuat seakan-akan tidak ada jalan lain untuk mencari duit
selain dengan cara mengemis.
‘Ya,
Mak, tapi’kan ada pengemis yan berbadan cacat,’ potong Kak Ani, ‘buta, tangan atau
kaki puntung…!’
Sampai
disini Mak beragumen bahwa cacat adalah pengecualian, namun orang cacat kata
mak, kalau mau dapat menghasilkan sesuatu sebagai sumber kehidupan.
‘Biasanya
yang mengemis itu ‘kan orang miskin, Mak,’ aku turut berbicara, ‘jadi memang
perlu bantuan’.
‘Setelah
mengamati mereka yang secara teratur datang mengemis ke sini,’kata emak, ‘tampang,
keadaan tubuh serta pembawaannya menunjukkan bahwa mereka bukan miskin benda.
SEBENARNYA MEREKA LEBIH BANYAK MISKIN DALAM PIKIRAN, GAMBARAN DAN LEBIH-LEBIH
DALAM KEMAUAN.
....
Sampai
disini daku potong yaaa…panjang kali ceritanyaa…jadi kita lanjut ke hal paling
inti yang disampaikan Emaknya Daoed Joesoef, berikut ini, bekicot! ^_^
Maka
kalau kita melayani kehendak pengemis begitu saja dengan dalih kemiskinan, kita
tidak hanya tidak mendidik mereka, tetapi lebih-lebih juga tidak mendidik diri
kita sendiri agar bisa lebih tepat dalam bertindak. Jadi jangan sembarang
menabur kebaikan. Memang agama Islam mewajibkan kita memberikan zakat fithrah kepada
kaum fakir miskin. Dan itu dibagi-bagikan kepada penduduk yang dinilai
betul-betul miskin, berkekurangan dan pantas menerimanya.
Cerita selanjutnya, masih di bab yang
sama, Emak si Daoed ini pernah didatangi wanita yang mengemis ke rumahnya,
setelah ditelusuri Emak, ternyata wanita ini terpaksa mengemis karena suaminya
sakit dan tidak bekerja, tapi butuh uang untuk berobat, singkat cerita si Emak
pergi bersama wanita itu untuk membuktikan ceritanya, ternyata betul, Emak pun
membwa suami si wanita itu berobat bahkan sampai sembuh, baiknya lagi emak member
modal kepada keluarga wanita itu, yah akhirnya usaha mereka berkembang, mereka
pun berterimakasih pada Emak.
So,
What do you think? Memberi ikan langsung atau memberi kail dan cacingnya?
Terimakasih sudah membaca postingan di nufazee.com semoga bermanfaat. Mohon jangan masukkan link hidup saat mengisi kolom komentar. ^^ Biar gak capek kali ngapus broken link, ini kenapa jadi curhat haha